Sabtu, 30 Oktober 2010

waspada ANEMIA part 2 (Anemia Gizi Besi)

Zat Besi (Fe)

Zat besi (Fe) adalah salah satu mikronutrien penting yang diperlukan oleh tubuh. Zat besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paru–paru. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan daging dan otot–otot menjadi berwarna merah.

Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional dan yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk mioglobin, dan jumlah yang sangat kecil tetapi vital adalah heme enzim dan non heme enzim. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan untuk eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang.

Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah banyak,misalnya pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya rendah. Sedangkan pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan, maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per 1000 kcal yang dikonsumsi.

Kekurangan zat besi pada ibu hamil, bayi, dan anak menyebabkan gangguan saraf. Besi penting untuk membentuk mielin, aktivitas sel saraf, membantu berbagai enzim, dan pembentukan neurotransmiter atau semacam bahan kimia di otak. Defisiensi besi menyebabkan gangguan pembentukan mielin. Anak yang mengalami gangguan itu menunjukkan keterlambatan motorik, pendengaran, penglihatan.

Pengertian Anemia Gizi Besi dan Penyebabnya

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin:


Anak (6 bln-6 thn) hb= 11
Dewasa (6 tahun s/d 14 tahun) Hb= 12
                    Laki-laki : Hb = 13
                    Wanita: Hb = 12
                    Wanita hamil : Hb = 11

Anemia gizi besi adalah anemia yang disebabkan kurangnya zat besi untuk pembentukan hemoglobin (Hb). Karakteristik dari anemia jenis ini yaitu hipokromik mikrositik (eritrosit yang diproduksi berukuran kecil dan tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering ditemukan.

Penderita anemia defisiensi besi khususnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini dikarenakan pada masa bayi dan anak-anak diperlukan asupan besi yang cukup tinggi untuk mencapai kadar normal besi pada dewasa sekitar 5 gr di mana tubuh bayi baru lahir mengandung 0,5 gr besi sehingga diperlukan sekitar 0,8 mg/hari untuk mencapai kadar normal tersebut. Apabila asupan tersebut tidak terpenuhi dapat mengakibatkan defisiensi besi.


Hal-hal yang dapat menyebabkan defisiensi zat besi antara lain yaitu:

1. Diet rendah besi (hanya 1 mg besi yang diabsorbsi dari setiap 10-20 zat besi yang masuk ke tubuh sehingga tubuh kurang dapat memanfaatkan asupan besi secara optimal).

2. Komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (terlalu banyak mengkonsumsi jenis sayuran, kurang protein hewani dikarenakan zat besi yang terkandung dalam sayur-sayuran lebih tidak diserap secara sempurna, dibanding dengan zat besi dalam daging).

3. Pertumbuhan (masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan paling cepat dan membutuhkan banyak zat besi dalam tubuhnya sehingga asupan zat gizinya juga lebih tinggi).

4. Kelainan saluran pencernaan (hal ini mengakibatkan tubuh tidak dapat menyerap zat besi yang masuk dengan baik).

5. Kehilangan darah (seperti pada menstruasi, perdarahan, mimisan, dan sebagainya mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi karena banyak eritrosit yang di dalamnya mengandung Hb, terbuang keluar dari tubuh).

6. Kehamilan (ibu hamil membutuhkan lebih banyak asupan zat besi).

7. Bayi yang tidak diberikan ASI, melainkan diberi minum susu sapi (dikarenakan albumin susu sapi tidak seluruhnya cocok dengan bayi, dapat merusak saluran pencernaan bayi yang masih rentan, sehingga mudah menyebabkan perdarahan dan menyebabkan kehilangan darah serta zat besi).

8. Kelainan transpor besi (jarang ditemui).


Patofisiologi

Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asimptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.

Tanda-tanda dari anemia gizi besi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb. Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Status defisiensi zat besi pada tiap orang yang mengidap anemia gizi besi berbeda-beda. Berikut ini adalah beberapa tingkatan dari defisiensi zat besi, yaitu:

1. Stadium 1 (terjadi deplesi dari cadangan zat besi dalam tubuh dalam batas menengah, namun belum terjadi disfungsi kerja apapun).

2. Stadium 2 (terjadi deplesi yang lebih lanjut dari cadangan zat besi dalam tubuh, namun belum terjadi disfungsi kerja apapun).

3. Stadium 3 (terjadi defisiensi zat besi dalam tubuh).

4. Stadium 4 (terjadi defisiensi zat besi dalam tubuh, dan sudah terjadi disfungsi kerja dan anemia).
Sebanyak 50% lebih dari seluruh kasus keseimbangan besi yang negatif masuk dalam tingkatan keseimbangan besi yang negatif (deplesi dari cadangan besi) stadium 1 dan 2. Pada stadium 1, terjadi kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif. Sedangkan pada stadium 2, cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit. Akan tetapi seseorang yang masuk ke dalam kedua stadium ini tidak merasa mengidap penyakit dikarenakan memang belum terjadi disfungsi kerja apapun dalam tubuhnya walaupun cadangan besi dan besi yang beredar di tubuh sudah berkurang, namun untuk eritropoiesis masih ada.

Keadaan defisiensi zat besi terjadi pada stadium 3 dan 4. Stadium 3 menunjukkan sudah terjadi gangguan metabolisme, yaitu terjadinya defisiensi besi untuk eritropoiesis, namun belum terlalu parah sehingga belum dapat dikatakan sebagai anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun. Tingkat 4 menunjukkan gangguan klinis yang sudah parah, yaitu defisiensi besi untuk eritropoiesis sudah melebihi setengah, sehingga dapat dikatakan sebagai stadium anemia defisiensi besi. Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi. Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk.


Gejala anemia gizi besi

Secara umum, gejala dari anemia antara lain kulit pucat, lemah, letih, lesu, denyut jantung meningkat (takikardi), limpa yang membesar, radang pada lidah, napas yang dangkal, dan sakit kepala. Selain itu ketika anemia defisiensi zat besi bertambah parah, hal ini akan mempengaruhi struktur dan fungsi-fungsi tubuh, di antaranya jaringan epitel, terutama lidah, kuku, mulut, dan lambung. Beberapa gejala dan tanda khusus dari anemia defisiensi besi di antaranya yaitu:

1. Perubahan pada mulut meliputi pembengkakan pada papilla, rasa terbakar, kemerahan, dan pada beberapa kasus terjadi glositis (iritasi lidah, penampakan lidah menjadi halus), juga dapat terjadi cheilosis (bibir pecah-pecah) dan angular stomatitis yang mengakibatkan disfagia (kesulitan menelan).

2. Perubahan pada pencernaan meliputi gastritis yang sering muncul dan juga terjadi phagophagia (keinginan aneh untuk memakan makanan tertentu, seperti es). Kondisi ini disebut sebagai pica. Pada pengidap anemia defisiensi besi, hemogblobin darahnya akan menurun sehingga volume darah menurun. Hal ini mengakibatkan jantung berdetak menjadi lebih keras dan suhu tubuh menjadi lebih panas. Oleh karena itu, penderita menjadi lebih suka makan/minum yang bersuhu dingin.

3. Perubahan pada kuku meliputi terjadinya koilonychia, yaitu kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya cekung seperti sendok.

4. Perubahan pada mata meliputi sklera mata menjadi biru. Ini bisa menjadi indikator spesifik dan sensitif dari anemia defisiensi besi. Anemia ini menyebabkan jaringan kolagen pada penderita menipis atau bahkan tidak terbentuk, menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih nampak.


Manifestasi klinis anemia gizi besi

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menegakkan kepastian diagnosis anemia defisiensi besi antara lain:

1. Anamnesis (lemah, lesu, pica, serta kemungkinan adanya faktor penyebab dan faktor risiko)

2. Pemeriksaan fisik (kulit pucat, takikardia, anemia, pembesaran organ, limphadenopati, atrofi papila lidah)

3. Selain pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit, pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang menandakan positif anemia gizi besi dapat dilihat dari 6 pengukuran yang berbeda:

1. Jumlah serum atau plasma feritin yang menurun (<10 µg/L) 2. Jumlah serum atau plasma besi yang menurun (<60 µg/100 mL) 3. Jumlah total transferin, transferin IBC yang meningkat (>390 µg/100 mL)

4. Persen saturasi dari transferin menurun (<15%), yang menandakan cadangan besi dalam jaringan, kurang dari 15% dianggap tidak mencukupi untuk dilakukan eritropoesis. 5. Persen saturasi feritin menurun 6. Jumlah reseptor transferin serum yang larut meningkat, Kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat (>100 ).


Pengobatan untuk menanggulangi anemia gizi besi

Terapi pada anemia defisiensi besi tergantung pada faktor-faktor usia, riwayat pengobatan, penyebab anemia, toleransi terhadap pengobatan tertentu, dan sebagainya. Terapi anemia defisiensi besi dapat berupa:

1. Diet tinggi zat besi.
Zat besi dapat diperoleh dari makanan yang kaya akan zat besi. Beberapa daftar makanan yang kaya akan zat besi di antaranya yaitu hati, ginjal, daging, kuning telur, kacang-kacangan, sayuran hijau, roti whole-grain, serta serealia yang difortifikasi. Akan tetapi, bioavailabilitas zat besi dalam makanan lebih tinggi dalam bentuk heme (diserap oleh tubuh mencapai 10-20%), yang terdapat pada jenis pangan seperti daging, ikan, dan hasil peternakan lainnya dibandingkan dengan bentuk non-heme (diserap oleh tubuh hanya sekitar 1-2%), yang terdapat pada jenis pangan lainnya seperti telur, biji-bijan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh karena itu, untuk penderita anemia gizi besi dianjurkan untuk lebih banyak mengkonsumsi diet tinggi zat besi terutama dalam bentuk heme.

2. Suplemen zat besi, berupa per oral dan parenteral.
Suplemen oral berupa tablet besi, akan diserap dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan.Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet. Akan tetapi kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan tidak berbahaya.
Indikasi parenteral hanyalah bila terdapat intoleransi dalam saluran pencernaan atau bila pasien membutuhkan zat besi dalam jumlah besar. Suplemen besi dapat digunakan selama berbulan-bulan, namun dapat juga menyebabkan iritasi lambung dan gangguan peristaltik usus. Untuk meningkatkan absorbsinya dalam usus, suplemen besi tersebut sebaiknya diminum pada saat lambung kosong atau diminum bersama dengan jus jeruk.
Biasanya diperlukan waktu 3-6 minggu untuk memperbaiki anemia karena kekurangan zat besi, meskipun perdarahan telah berhenti.
Jika anemia sudah berhasil diperbaiki, penderita harus melanjutkan minum tablet besi selama 6 bulan untuk mengembalikan cadangan tubuh.
Pemeriksaan darah biasanya dilakukan secara rutin untuk meyakinkan bahwa pasokan zat besi mencukupi dan perdarahan telah berhenti.


DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1996. Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan masyarakat, Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta.

Hidayat W. 1994. Penelitian Pengembangan Program Penanggulangan Anemia pada Ibu Hamil Melalui Suplementasi Besi di Kabupaten Jember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan. Surabaya.

Husaini MA, Darwin K. 1992. Masalah Anemia Gizi dan Alternatif Cara Penanggulangannya.

Kodyat BA. 1992. Masalah Gizi di Indonesia dan Penanggulangan. Direktorat Bina Gizi Indonesia.

Kumala V. 2007. Suka Makan/minum Es? Mungkin Anda Menderita Anemia Defisiensi Besi!. www.tanyadokteranda.com. [17 September 2010].

Mahan LK, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy. USA: Elsevier

Olson RE. 1988. Mineral, Pengetahuan Gizi Mutakhir. Jakarta: Gramedia.

Radenfahmi. 2010. Anemia Karena Kekurangan Zat Besi. Universitas Negeri Malang, Malang. http://forum.um.ac.id. [17 September 2010].

Rahyaningsih. 1995. Balita dan Faktor Gambaran Anemia pada Anak-faktor yang Berhubungan di dua Kabupaten Bogor tahun 1992. [tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada Ibu Hamil. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. www.repository.usu.ac.id. [17 September 2010].

Recht M, Pearson HA. 1999. Iron Deficiency Anemia. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Subeno BT. 2007. Anemia Defisiensi Besi pada Anak Sekolah. www.suaramerdeka.com. [17 September 2010].

Wahyuni AS. 2004. Anemia Defisien Besi pada Balita. Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Pencegahan/Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran USU, Sumatera Utara. www.repository.usu.ac.id. [17 September 2010].

Jumat, 22 Oktober 2010

waspada ANEMIA

Anemia di definisikan sebagai penurunan volume/jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah atau penurunan kadar hemoglobin sampai dibawah rentang nilai yang erlaku untuk orang sehat (Hb<10 g/dL), sehingga terjadi penurunan kemampuan darah untuk menyalurkan oksigen ke jaringan. Dengan demikian anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubanah patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik yang diteliti serta pemeriksaan laboratorium yang menunjang. Manifestasi klinik timbul tergantung pada:
1. Kecepatan timbulnya anemia
2. umur individu
3. Mekanisme kompensasi tubuh
   Seperti: peningkatan curah jantung dan pernapasan, meningkatkan pelepasan oksigen oleh hemoglobin, mengembangkan volume plasma, redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.
4. tingkat aktivitas
5. Keadaan penyakit yang mendasari
6. Parahnya anemia tersebut
            Anemia aplastik adalah gangguan hematopoesis yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibatnya adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem hemopoid atau kanker metatastik yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi pada satu, dua, atau tiga sistem hematopoesis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoetik disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sitem granulopoetik disebut agranuloitosis, sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut purpura trombositopenik amegakariositik (PTA). Apabila mengenai ketiga sistem tersebut disebut anemia aplastik (Sadikin 2002).
            Menurut The international Agranolositosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut bahwa anemia aplastik apabila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dl atau hematokrit ≤ 30, trombosit ≤ 50.000.m3, leukosit  ≤ 3500/m3 atau granulosit ≤ 15x109/l.

Etiologi
            Secara etiologi, penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a.    Faktor kongenital/anemia aplastik yang diturunkan
Sindroma Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
b.    Faktor didapat
Sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik, sebagian lainnya dihubungkan
Dengan:
-Bahan kimia: benzene, insektida
-Obat: kloramfenikol, anti rematik, anti tiroid, mesantoin (antikonvulsan sitostatika)
-Infeksi: hepatitis, tuberculosis milier
-Radiasi: radioaktif, sinar rontgen

Patofisiologi
            Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara pasti. Terdapat 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini, yaitu:
a.    Kerusakan sel induk hematopoetik.
b.    Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang.
c.    Proses imunologik yang menekan hematopoesis.
Keberadaan sel induk hematopoetik dapat diketahui lewat petanda sel yaitu CD 34, atau dengan biakan sel.

Manifestasi Klinis
a.    Lemah dan mudah lelah
b.    Granulositopenia dan leukositopenia menyebabkan lebih mudah terkena infeksi bakteri
c.    Trombositopenia menimbulkan perdarahan mukosa dan kulit
d.    Pucat
e.    Pusing
f.      Anoreksia
g.    Peningkatan tekanan sistolik
h.    Takikardia
i.      Penurunan pengisian kapler
j.      Sesak
k.    Demam
l.      Purpura
m.   Petekie
n.    Hepatosplenomegali
o.    Limfadenopati
(Tierney,dkk.2003.Hal:95)
Anemia (pucat)
· Akibat retikulositopenia : kadar Hb,Ht dan eritrosit rendah
· Akibat anemia : anoreksia, pusing.
Aplasia granulopesis
Granulositopenia, leucopenia
Panas (demam)
· Panas terjadi karena infeksi sekunder akibat granulositopenia.
Aplasia trombopoetik
Trombositopenia
Diatesis hemoragi
· Perdarahan dapat berupa ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi.
Relatif aktif limfopoesis
Limfositosisa
–· Limfositosis biasanya tidak lebih dari 80%

Penatalaksanaan
a. Implikasi keperawatan
· Pencegahan infeksi silang
· Istirahat untuk mencegah perdarahan, terutama perdarahan otak
· Tempatkan anak pada posisi terlentang untuk meningkatkan sirkulasi serebral
· Pertahankan suhu tubuh dengan memberikan selimut dan mengatur suhu ruangan
· Berikan dukungan emosional kepada orang tua dan anak
· Berikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan orang tua dan anak Berikan informasi adekuat mengenai keadaan, pengobatan dan kemajuan kesehatan anak serta bimbingan untuk perawatan dirumah.
(Pillitteri.2002.Hal:246)

Tindakan Kolaborasi
1.    Medikamentosa :
Prednisolon (kortikosteroid) dosis 2 – 5 mg/kgBB/hari per oral ; testoteron dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari secara parenteral ; testoteron diganti dengan oksimetolon yang mempunyai dayaanabolic dan merangsang system hemopoetik lebih kuat, dosis diberikan 1 – 2 mg/kgBB/hari peroral. (Ngastiyah.1997.Hal:364)
Untuk pasien dengan neutropenia sebagai abnormalitas dominant, efektif diberikan myeloidgrowth factors G-CSF (filgastrim) dengan dosis 5µg/kg/hari atau GM-CSF (sargramostim)dengan dosis 250 µg/m2/hari untuk meningkatkan angka neutrofil dan menurunkan infeksi.(Tierney.2003.Hal:96)
2.    Transfusi darah : diberikan jika diperlukan saja karena pemberian transfusi darah terlampau sering akan menimbulkan depresi sumsum tulang atau akan menimbulkan reaksi hemolitik sebagai akibat dibentuknya antibodi terhadap sel – sel darah tersebut.
3.    Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk mencegah infeksi sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan yang steril. Pemberian obat antbiotika dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak bolehdiberikan.
· Makanan : umumnya diberikan dalam bentuk lunak. Jika harus menggunakan NGT harus hati-hati karena dapat menimbulkan luka / perdarahan pada waktu pemasangan.
(Ngastiyah.1997.Hal:365)
4.    Transplantasi sumsum tulang : sumsum tulang diambil dari donor dengan beberapa kali pungsi hingga mendapatkan sedikitnya 5 x 108 sel berinti / kgBB resipien. Keberhasilan pencangkokan terjadi dalam waktu 2 hingga 3 minggu.

Konsep dasar Asuhan Keperawatan Anemia Aplastik
1.    Pengkajian
a.    Aktivitas / Istirahat
· Keletihan, kelemahan otot, malaise umum
· Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
· Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat
· Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya
· Ataksia, tubuh tidak tegak
· Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda – tanda lain yang menunjukkan
keletihan
b.    Sirkulasi
· Riwayat kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI
· Palpitasi (takikardia kompensasi)
· Hipotensi postural
· Disritmia : abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang
T· Bunyi jantung murmur sistolik
· Ekstremitas : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan
dasar kuku
· Sclera biru atau putih seperti mutiara
· Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonsriksi kompensasi)
· Kuku mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia)
· Rambut kering, mudah putus, menipis
c.    Integritas Ego
· Keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi darah
· Depresi
d.    Eliminasi
· Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
· Flatulen, sindrom malabsorpsi
· Hematemesis, feses dengan darah segar, melena
· Diare atau konstipasi
· Penurunan haluaran urine
· Distensi abdomen
e.    Makanan / cairan
· Penurunan masukan diet
· Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
· Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia
· Adanya penurunan berat badan
· Membrane mukusa kering,pucat
· Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis
· Stomatitis
· Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah
f.     Neurosensori
· Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
· Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
· Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
· Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
· Tidak mampu berespon lambat dan dangkal
· Epistaksis
· Gangguan koordinasi, ataksia
g.    Nyeri/kenyamanan
· Nyeri abdomen samar, sakit kepalah. Pernapasan
· Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
· Takipnea, ortopnea dan dispneai. Keamanan
· Riwayat terpajan terhadap bahan kimia mis : benzene, insektisida, fenilbutazon, naftalen
· Tidak toleran terhadap dingin dan / atau panas
· Transfusi darah sebelumnya
· Gangguan penglihatan
· Penyembuhan luka buruk, sering infeksi
· Demam rendah, menggigil, berkeringat malam
· Limfadenopati umum
· Petekie dan ekimosis
2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
b.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
c.    Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan.
d.    Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan
e.    Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder leucopenia, penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).

Diet
            Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak mampu mempertahankan berat badan yang stabil
Kriteria hasil :
· Asupan nutrisi adekuat
· Berat badan normal
· Nilai laboratorium dalam batas normal :
Albumin : 4 – 5,8 g/dL
Hb : 11 – 16 g/dL
Ht : 31 – 43 %
Trombosit : 150.000 – 400.000 µL
Eritrosit : 3,8 – 5,5 x 1012
Intervensi :
1) Observasi dan catat masukan makanan anak.
 untuk mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
2) Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering
. Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan asupan nutrisi.
3) Observasi mual / muntah, flatus.
 gejala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
4) Bantu anak melakukan oral higiene, gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan penyikatan
yang lembut. Meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri,meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut diperlukan bila jaringan
rapuh/luak/perdarahan.
5) Observasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin.
Untuk mengetahui efektivitas program pengobatan, mengetahui sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
6) Berikan diet halus rendah serat, hindari makanan pedas atau terlalu asam sesuai indikasi
. Bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi anak.
7) Berikan suplemen nutrisi mis
alnya : ensure, Isocal. Untuk meningkatkan masukan protein dan kalori.

Daftar Pustaka
 1.   Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
 4.   Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta