Sabtu, 30 Oktober 2010

waspada ANEMIA part 2 (Anemia Gizi Besi)

Zat Besi (Fe)

Zat besi (Fe) adalah salah satu mikronutrien penting yang diperlukan oleh tubuh. Zat besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paru–paru. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan daging dan otot–otot menjadi berwarna merah.

Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional dan yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk mioglobin, dan jumlah yang sangat kecil tetapi vital adalah heme enzim dan non heme enzim. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan untuk eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang.

Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah banyak,misalnya pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya rendah. Sedangkan pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan, maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per 1000 kcal yang dikonsumsi.

Kekurangan zat besi pada ibu hamil, bayi, dan anak menyebabkan gangguan saraf. Besi penting untuk membentuk mielin, aktivitas sel saraf, membantu berbagai enzim, dan pembentukan neurotransmiter atau semacam bahan kimia di otak. Defisiensi besi menyebabkan gangguan pembentukan mielin. Anak yang mengalami gangguan itu menunjukkan keterlambatan motorik, pendengaran, penglihatan.

Pengertian Anemia Gizi Besi dan Penyebabnya

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin:


Anak (6 bln-6 thn) hb= 11
Dewasa (6 tahun s/d 14 tahun) Hb= 12
                    Laki-laki : Hb = 13
                    Wanita: Hb = 12
                    Wanita hamil : Hb = 11

Anemia gizi besi adalah anemia yang disebabkan kurangnya zat besi untuk pembentukan hemoglobin (Hb). Karakteristik dari anemia jenis ini yaitu hipokromik mikrositik (eritrosit yang diproduksi berukuran kecil dan tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering ditemukan.

Penderita anemia defisiensi besi khususnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini dikarenakan pada masa bayi dan anak-anak diperlukan asupan besi yang cukup tinggi untuk mencapai kadar normal besi pada dewasa sekitar 5 gr di mana tubuh bayi baru lahir mengandung 0,5 gr besi sehingga diperlukan sekitar 0,8 mg/hari untuk mencapai kadar normal tersebut. Apabila asupan tersebut tidak terpenuhi dapat mengakibatkan defisiensi besi.


Hal-hal yang dapat menyebabkan defisiensi zat besi antara lain yaitu:

1. Diet rendah besi (hanya 1 mg besi yang diabsorbsi dari setiap 10-20 zat besi yang masuk ke tubuh sehingga tubuh kurang dapat memanfaatkan asupan besi secara optimal).

2. Komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (terlalu banyak mengkonsumsi jenis sayuran, kurang protein hewani dikarenakan zat besi yang terkandung dalam sayur-sayuran lebih tidak diserap secara sempurna, dibanding dengan zat besi dalam daging).

3. Pertumbuhan (masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan paling cepat dan membutuhkan banyak zat besi dalam tubuhnya sehingga asupan zat gizinya juga lebih tinggi).

4. Kelainan saluran pencernaan (hal ini mengakibatkan tubuh tidak dapat menyerap zat besi yang masuk dengan baik).

5. Kehilangan darah (seperti pada menstruasi, perdarahan, mimisan, dan sebagainya mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi karena banyak eritrosit yang di dalamnya mengandung Hb, terbuang keluar dari tubuh).

6. Kehamilan (ibu hamil membutuhkan lebih banyak asupan zat besi).

7. Bayi yang tidak diberikan ASI, melainkan diberi minum susu sapi (dikarenakan albumin susu sapi tidak seluruhnya cocok dengan bayi, dapat merusak saluran pencernaan bayi yang masih rentan, sehingga mudah menyebabkan perdarahan dan menyebabkan kehilangan darah serta zat besi).

8. Kelainan transpor besi (jarang ditemui).


Patofisiologi

Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asimptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.

Tanda-tanda dari anemia gizi besi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb. Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Status defisiensi zat besi pada tiap orang yang mengidap anemia gizi besi berbeda-beda. Berikut ini adalah beberapa tingkatan dari defisiensi zat besi, yaitu:

1. Stadium 1 (terjadi deplesi dari cadangan zat besi dalam tubuh dalam batas menengah, namun belum terjadi disfungsi kerja apapun).

2. Stadium 2 (terjadi deplesi yang lebih lanjut dari cadangan zat besi dalam tubuh, namun belum terjadi disfungsi kerja apapun).

3. Stadium 3 (terjadi defisiensi zat besi dalam tubuh).

4. Stadium 4 (terjadi defisiensi zat besi dalam tubuh, dan sudah terjadi disfungsi kerja dan anemia).
Sebanyak 50% lebih dari seluruh kasus keseimbangan besi yang negatif masuk dalam tingkatan keseimbangan besi yang negatif (deplesi dari cadangan besi) stadium 1 dan 2. Pada stadium 1, terjadi kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif. Sedangkan pada stadium 2, cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit. Akan tetapi seseorang yang masuk ke dalam kedua stadium ini tidak merasa mengidap penyakit dikarenakan memang belum terjadi disfungsi kerja apapun dalam tubuhnya walaupun cadangan besi dan besi yang beredar di tubuh sudah berkurang, namun untuk eritropoiesis masih ada.

Keadaan defisiensi zat besi terjadi pada stadium 3 dan 4. Stadium 3 menunjukkan sudah terjadi gangguan metabolisme, yaitu terjadinya defisiensi besi untuk eritropoiesis, namun belum terlalu parah sehingga belum dapat dikatakan sebagai anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun. Tingkat 4 menunjukkan gangguan klinis yang sudah parah, yaitu defisiensi besi untuk eritropoiesis sudah melebihi setengah, sehingga dapat dikatakan sebagai stadium anemia defisiensi besi. Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi. Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk.


Gejala anemia gizi besi

Secara umum, gejala dari anemia antara lain kulit pucat, lemah, letih, lesu, denyut jantung meningkat (takikardi), limpa yang membesar, radang pada lidah, napas yang dangkal, dan sakit kepala. Selain itu ketika anemia defisiensi zat besi bertambah parah, hal ini akan mempengaruhi struktur dan fungsi-fungsi tubuh, di antaranya jaringan epitel, terutama lidah, kuku, mulut, dan lambung. Beberapa gejala dan tanda khusus dari anemia defisiensi besi di antaranya yaitu:

1. Perubahan pada mulut meliputi pembengkakan pada papilla, rasa terbakar, kemerahan, dan pada beberapa kasus terjadi glositis (iritasi lidah, penampakan lidah menjadi halus), juga dapat terjadi cheilosis (bibir pecah-pecah) dan angular stomatitis yang mengakibatkan disfagia (kesulitan menelan).

2. Perubahan pada pencernaan meliputi gastritis yang sering muncul dan juga terjadi phagophagia (keinginan aneh untuk memakan makanan tertentu, seperti es). Kondisi ini disebut sebagai pica. Pada pengidap anemia defisiensi besi, hemogblobin darahnya akan menurun sehingga volume darah menurun. Hal ini mengakibatkan jantung berdetak menjadi lebih keras dan suhu tubuh menjadi lebih panas. Oleh karena itu, penderita menjadi lebih suka makan/minum yang bersuhu dingin.

3. Perubahan pada kuku meliputi terjadinya koilonychia, yaitu kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya cekung seperti sendok.

4. Perubahan pada mata meliputi sklera mata menjadi biru. Ini bisa menjadi indikator spesifik dan sensitif dari anemia defisiensi besi. Anemia ini menyebabkan jaringan kolagen pada penderita menipis atau bahkan tidak terbentuk, menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih nampak.


Manifestasi klinis anemia gizi besi

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menegakkan kepastian diagnosis anemia defisiensi besi antara lain:

1. Anamnesis (lemah, lesu, pica, serta kemungkinan adanya faktor penyebab dan faktor risiko)

2. Pemeriksaan fisik (kulit pucat, takikardia, anemia, pembesaran organ, limphadenopati, atrofi papila lidah)

3. Selain pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit, pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang menandakan positif anemia gizi besi dapat dilihat dari 6 pengukuran yang berbeda:

1. Jumlah serum atau plasma feritin yang menurun (<10 µg/L) 2. Jumlah serum atau plasma besi yang menurun (<60 µg/100 mL) 3. Jumlah total transferin, transferin IBC yang meningkat (>390 µg/100 mL)

4. Persen saturasi dari transferin menurun (<15%), yang menandakan cadangan besi dalam jaringan, kurang dari 15% dianggap tidak mencukupi untuk dilakukan eritropoesis. 5. Persen saturasi feritin menurun 6. Jumlah reseptor transferin serum yang larut meningkat, Kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat (>100 ).


Pengobatan untuk menanggulangi anemia gizi besi

Terapi pada anemia defisiensi besi tergantung pada faktor-faktor usia, riwayat pengobatan, penyebab anemia, toleransi terhadap pengobatan tertentu, dan sebagainya. Terapi anemia defisiensi besi dapat berupa:

1. Diet tinggi zat besi.
Zat besi dapat diperoleh dari makanan yang kaya akan zat besi. Beberapa daftar makanan yang kaya akan zat besi di antaranya yaitu hati, ginjal, daging, kuning telur, kacang-kacangan, sayuran hijau, roti whole-grain, serta serealia yang difortifikasi. Akan tetapi, bioavailabilitas zat besi dalam makanan lebih tinggi dalam bentuk heme (diserap oleh tubuh mencapai 10-20%), yang terdapat pada jenis pangan seperti daging, ikan, dan hasil peternakan lainnya dibandingkan dengan bentuk non-heme (diserap oleh tubuh hanya sekitar 1-2%), yang terdapat pada jenis pangan lainnya seperti telur, biji-bijan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh karena itu, untuk penderita anemia gizi besi dianjurkan untuk lebih banyak mengkonsumsi diet tinggi zat besi terutama dalam bentuk heme.

2. Suplemen zat besi, berupa per oral dan parenteral.
Suplemen oral berupa tablet besi, akan diserap dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan.Biasanya cukup diberikan 1 tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet. Akan tetapi kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan tidak berbahaya.
Indikasi parenteral hanyalah bila terdapat intoleransi dalam saluran pencernaan atau bila pasien membutuhkan zat besi dalam jumlah besar. Suplemen besi dapat digunakan selama berbulan-bulan, namun dapat juga menyebabkan iritasi lambung dan gangguan peristaltik usus. Untuk meningkatkan absorbsinya dalam usus, suplemen besi tersebut sebaiknya diminum pada saat lambung kosong atau diminum bersama dengan jus jeruk.
Biasanya diperlukan waktu 3-6 minggu untuk memperbaiki anemia karena kekurangan zat besi, meskipun perdarahan telah berhenti.
Jika anemia sudah berhasil diperbaiki, penderita harus melanjutkan minum tablet besi selama 6 bulan untuk mengembalikan cadangan tubuh.
Pemeriksaan darah biasanya dilakukan secara rutin untuk meyakinkan bahwa pasokan zat besi mencukupi dan perdarahan telah berhenti.


DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1996. Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan masyarakat, Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta.

Hidayat W. 1994. Penelitian Pengembangan Program Penanggulangan Anemia pada Ibu Hamil Melalui Suplementasi Besi di Kabupaten Jember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan. Surabaya.

Husaini MA, Darwin K. 1992. Masalah Anemia Gizi dan Alternatif Cara Penanggulangannya.

Kodyat BA. 1992. Masalah Gizi di Indonesia dan Penanggulangan. Direktorat Bina Gizi Indonesia.

Kumala V. 2007. Suka Makan/minum Es? Mungkin Anda Menderita Anemia Defisiensi Besi!. www.tanyadokteranda.com. [17 September 2010].

Mahan LK, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy. USA: Elsevier

Olson RE. 1988. Mineral, Pengetahuan Gizi Mutakhir. Jakarta: Gramedia.

Radenfahmi. 2010. Anemia Karena Kekurangan Zat Besi. Universitas Negeri Malang, Malang. http://forum.um.ac.id. [17 September 2010].

Rahyaningsih. 1995. Balita dan Faktor Gambaran Anemia pada Anak-faktor yang Berhubungan di dua Kabupaten Bogor tahun 1992. [tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada Ibu Hamil. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. www.repository.usu.ac.id. [17 September 2010].

Recht M, Pearson HA. 1999. Iron Deficiency Anemia. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Subeno BT. 2007. Anemia Defisiensi Besi pada Anak Sekolah. www.suaramerdeka.com. [17 September 2010].

Wahyuni AS. 2004. Anemia Defisien Besi pada Balita. Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Pencegahan/Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran USU, Sumatera Utara. www.repository.usu.ac.id. [17 September 2010].

1 komentar: